Sabtu, 14 Juli 2012

Remaja dan Cinta Platonik

oleh: Emdheka. S*

Siapa yang tak kenal dengan Kahlil Gibran? “Sang Nabi” dari Libanon ini terkenal dengan romantisme yang tertuang dalam cerita dan sajak-sajaknya. Namanya telah melegenda sebagai seorang penulis yang mampu mengeksplorasi perasaan menjadi untaian kata-kata yang mendayu indah. Ia mampu membangkitkan sudut terindah hati pembacanya melalui metafora-metafora yang –bisa dikatakan- terilhami oleh keindahan alam. Tak hanya tentang kebahagiaan, ia juga mampu menghidupkan rasa duka mendalam, hingga tak jarang mengundang air mata. Pertanyaan sederhana barangkali muncul; dari manakah ia memperoleh inspirasi

            Tak dapat dipastikan dari mana Gibran memperoleh ide untuk kata-katanya yang lihai itu. Barangkali sudah merupakan bakat alami. Namun mengenai kata-kata romantis dan atau sajak-sajak yang indah, ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta atau sedang melakoni percintaan cenderung mempunyai kemampuan untuk merangkai kata-kata yang aduhai. Dan mengenai Gibran sendiri, tak banyak cerita yang terungkap tentang perjalanan cintanya. Kalaupun ada, para penikmat karyanya hanya bisa menebak melalui tulisannya.
Suatu riwayat menyatakan bahwa “Sang Nabi” ini pernah menjalin cinta dengan seorang wanita yang bernama May Ziadah, atau yang sering dipanggil Mary. Masa itu, Mary adalah seorang yang kritikus sastra. Ia sering mengkritik karya-karya yang baru diterbitkan, terutama karya Gibran. Dari kesukaannya itu, ia kemudian mengirmkan surat kepada Gibran yang berisi tentang kritik terhadap tulisan-tulisan Gibran.
Gibran tentunya senang karena memperoleh kawan yang bisa diajak berbagi. Dari itulah kisah Gibran dan Mary berawal. Anehnya, disebutkan bahwa antara Gibran dan Mary tidak pernah bertatap muka. Mereka hanya saling bertukar kabar melalui surat. Hal ini dapat dilihat dalam kumpulan surat cinta Kahlil Gibran. Disana dicantumkan sejumlah surat dari Gibran kepada Mary yang berisi tentang kata-kata yang –tetap- berbunga-bunga. Disebutkan juga bahwa suatu ketika Gibran melarang Mary untuk mengirimkan fotonya. Benar-benar aneh.
Barangkali seperti itulah Gibran. Memilih untuk melakoni cinta platonik. Cinta tanpa tatap muka. Cinta tiada bersua. Cinta yang hanya terukir melalui kata-kata dalam selembar surat.
Gibran ternyata bukan satu-satunya manusia yang melakoni cinta platonik tersebut. Di zaman modern saat ini, ternyata ada banyak orang, terutama remaja, yang terjebak untuk menjalani cinta seperti itu. Hal ini didukung oleh perkembangan teknologi. Benar, sudah menjadi rahasia umum kalau pada masa ini banyak remaja yang menjalin hubungan melalui sekerat pesan di ponsel alias HP.
Kemajuan teknologi saat ini memang telah memberikan dampak yang luas, baik positif maupun negatif. Mudahnya mengoperasikan alat komunikasi menyebabkan seringnya terjadi kesalahan. Dan kesalahan itu sering menjadi awal yang menyenangkan. Sebuah kesalahn yang indah.
Dengan alasan salah pencet nomor, seorang pemakai HP, terutama remaja, bisa berkenalan dengan pemakai HP lainnya. Mujurnya, jika orang yang menerima pesan tersebut merupakan lawan jenis, maka pucuk dicinta ulam pun tiba. Apalagi jikakato bajawek, gayuang basambuik. Biasanya, dari situlah semuanya berawal. Melalui kata-kata, tanpa bertatap muka, jadilah dua insan saling percaya.
Jika di-analogi-kan dengan kisah Gibran, tentunya cerita seperti diatas tidak jauh berbeda. Hanya bedanya, semasa Gibran media yang dijadikan untuk bertukar kabar adalah surat, sementara di-era modern ini media yang digunakan adalah HP.
Remaja yang terlibat cinta platonik cenderung rela menghabiskan phone-creditnya hanya untuk membalas kabar dari sang pujaan yang ngakunya juga mempunyai perasaan yang sama. Tak jarang mereka saling telpon-telponan. Setelah itu, keduanya akan saling tersenyum mulailah membayangkan si dia meski hanya sebatas khayalan.
Hubungan seperti ini bisa saja dianggap menguntungkan karena mereka yang menjalaninya tidak terlibat kontak langsung. Sehingga semua konotasi negatif yang berhubungan dengan pacaran bisa dihindarkan. Namun disisi lain, menjalin hubungan ala cinta platonik bisa jadi akan menimbulkan masalah bagi pelakonnya, karena bukti nyata tentang kebersamaan mereka tidak pernah ada. Siapa yang dapat menjamin kalau semua cerita dan informasi yang “si dia” berikan benar adanya. Siapa juga yang bisa menjamin kalau perasaan “si dia” persis sama. Jangankan belum pernah bertemu, mereka yang sering bertatap muka pun tak bisa dipastikan perasaannya, karena jika berbicara tentang perasaan itu artinya berbicara tentang hati. Dan yang bisa mengetahui isi hati seseorang hanya si pemilik hati itu sendiri dan Yang Diatas.
Dilain pihak, hubungan seperti diatas bisa saja bermuara pada kekecewaan karena gambaran yang diperoleh melalui pesan di HP bisa saja berbeda dengan kenyataan. Interpretasi yang muncul dari uraian kata-kata bisa salah. Lebih jauh, harapan untuk kecewa akan lebih besar jika mereka yang melakoni cinta platonik berorientasi kepada fisik. Maksudnya, siapa yang dapat menjamin kalau “si dia” diseberang sana mempunyai fisik seperti yang diharapkan.
Memang, selalu ada hitam-putih dalam hidup, bahkan untuk menjalani cinta platonik saja ada baik-buruknya. Sebagai makhluk yang dilengkapi dengan akal dan pikiran serta perasaan, sudah sepantasnya jika semua itu dipertimbangkan. Ketika perasaan menyatakan bahwa “si dia” adalah orang yang tepat, orang yang selama ini dicari, maka akalpun harusnya bisa diajak bekerjasama. Pikirkan lagi, apakah semua yang tertera dalam pesan tersebut benar adanya.
Untuk kasus ini, baiknya remaja bercermin pada kisah Gibran. Sekalipun Gibran tak pernah bertemu dengan si Mary, hal itu tidak memberatkannya. Bahkan dengan hubungan seperti itu, Gibran bisa me-menej  perasaannya. Sebagian karya Gibran bisa jadi merupakan cerminan kisahnya sendiri. Ia mampu menghidupkan imajinasi dari penggalan cerita cintanya. Sehingga kemudian menghasilkan karya-karya yang mendunia dengan ciri khas romantisnya.
Hal ini tentu saja tak hanya bisa dilakukan Gibran. Mereka yang terlibat cinta platonik bisa saja melakukan hal yang sama dengan “Sang Nabi” tersebut. Mereka dapat mengolah perasaan menjadi sajak-sajak yang menyentuh atau alur cerita yang mendalam daripada bermenung ria membayangkan “si dia” disana, yang belum tentu memikirkan “si aku” disini.
Dengan berimajinasi bebas para pelakon cinta platonik harusnya mampu merangkai harapan-harapannya. Mampu membangun dunia yang tak hanya disimpan sendiri tapi juga bisa dinikmati orang lain. Imajinasi bebas juga tidak menutup kemungkinan bagi para pelakunya untuk membayangkan akhir kisah tersebut. Tidak hanya akhir yang bahagia, tapi juga ending yang bisa saja duka. Dengan demikian, ada kesiapan mental saat menerima “kenyataan tak selamanya seperti yang dibayangkan”. Bagaimanapun, pelaku cinta platonik, khususnya remaja, masih memiliki jalan yang panjang. Tak hanya sekedar memikirkan hubungan yang belum tampak ujungnya.
Dan, diriwayatkan pula, Kahlil Gibran dan May Ziadah tak pernah bersatu.

  

*nama pena dari M. Adioska
Artikel ini telah diterbitkan di Singgalang, 17 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar