Post-power syndrome,
adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang
kebesaran masa lalunya seperti karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya,
atau hal yang lain, dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat
ini. Orang yang mengalami post-power syndrome selalu ingin mengungkapkan betapa
bangga akan masa lalu yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar biasa ( menurutnya
). Dia akan ”mengobral” cerita masa lalu yang sudah usang, yang akan
diulang-ulang terus kepada setiap orang yang dijumpainya, sehingga tidak jarang
banyak orang yang langsung menyingkir ketika Ybs mendatangi mereka.
Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
post-power syndrome. Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor
tersebut. Bila orang yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan
bahwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih
bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrom
akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila ternyata usianya sudah termasuk usia
kurang produktif dan ditolak ketika melamar di perusahaan lain, post-power
syndrom yang menyerangnya akan semakin parah.
Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab
terjadinya post-power syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang
pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima
keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power syndrome. Dan jika terus
berlarut-larut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya.
Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama
orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak
orang yang berhasil melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan
dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang
tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang
terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko
terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar.
Beberapa kasus post-power syndrome yang berat
diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka
waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introvert ( tertutup
) terjadi psikosomatik ( sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak
tersalurkan ) yang parah.
Penanganan
Bila seorang penderita post-power syndrome dapat
menemukan aktualisasi diri yang baru, hal itu akan sangat menolong baginya.
Misalnya seorang manajer yang terkena PHK, tetapi bisa beraktualisasi diri di
bisnis baru yang dirintisnya, agrobisnis misalnya, ia akan terhindar dari
resiko terserang post-power syndrome.
Di samping itu, dukungan lingkungan terdekat, dalam
hal ini keluarga, dan kematangan emosi seseorang sangat berpengaruh pada
terlewatinya fase post-power syndrome ini. Seseorang yang bisa menerima
kenyataan dan keberadaannya dengan baik akan lebih mampu melewati fase ini
dibanding dengan seseorang yang memiliki konflik emosi.
Dukungan dan pengertian dari orang-orang tercinta
sangat membantu penderita. Bila penderita melihat bahwa orang-orang yang
dicintainya memahami dan mengerti tentang keadaan dirinya, atau ketidak
mampuannya mencari nafkah, ia akan lebih bisa menerima keadaannya dan lebih
mampu berpikir secara dingin. Hal itu akan mengembalikan kreativitas dan
produktifitasnya, meskipun tidak sehebat dulu. Akan sangat berbeda hasilnya jika
keluarga malah mengejek dan selalu menyindirnya, menggerutu, bahkan
mengolok-oloknya.
Post-power syndrome menyerang siapa saja, baik pria
maupun wanita. Kematangan emosi dan kehangatan keluarga sangat membantu untuk
melewati fase ini. Dan satu cara untuk mempersiapkan diri menghadapi post-power
syndrome adalah gemar menabung dan hidup sederhana. Karena bila post-power
syndrome menyerang, sementara penderita sudah terbiasa hidup mewah, akibatnya
akan lebih parah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar