Menurut David Wechsler,
inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dengan kata lain,
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir
secara rasional. Inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan
harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berpikir rasional itu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi :
1. Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian membuktikan bahwa
korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2
anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90. Bukti
lainnya adalah pada anak yang diadopsi, IQ mereka berkorelasi sekitar 0,40 -
0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan hanya 0,10 - 0,20 dengan ayah dan
ibu angkatnya. Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara
terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka
tidak pernah saling kenal.
Walaupun ada ciri-ciri yang
pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata lingkungan sanggup menimbulkan
perubahan-perubahan yang berarti. Inteligensi tentunya tidak
bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang
dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional
dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting.
Banyak yang menganggap bahwa
inteligensi dan IQ itu sama. Padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti
yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ
atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh
dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan
sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Skor IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental
(Mental Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan
individu dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes
kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya ada
pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan diperoleh
skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai
dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak
mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu
akan terjadi penurunan kemampuan.
Pada tahun 1904, ada 2 orang
psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, merancang
suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan
kelas khusus (anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes
Binet-Simon dan kemudian direvisi pada tahun 1911.
Kemudian pada tahun 1916, Lewis
Terman, seorang psikolog dari Amerika melakukan banyak perbaikan dari tes
Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan indeks numerik yang
menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara mental age dan
chronological age. Alat tes ini disebut Tes Stanford-Binet. Indeks
seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang
bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence
Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk
mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Tes Binet-Simon atau tes
Stanford-Binet dianggap terlalu umum. Charles Sperrman mengemukakan
bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum saja (general
factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini
disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang
dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult
Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence
Scale for Children) untuk anak-anak.
Di samping alat-alat tes di
atas, banyak dikembangkan alat tes dengan tujuan yang lebih spesifik, sesuai
dengan tujuan dan kultur di mana alat tes tersebut dibuat.
Sudah dibahas sebelumnya bahwa
Inteligensi berkaitan dengan kemampuan
umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di dalam kemampuan
yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik yang memungkinkan
tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau keterampilan tertentu setelah melalui
suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude. Karena
suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk mengungkap kemampuan-kemampuan
khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk
menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test.
Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu
dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan
adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic
Aptitude Test adalah tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record
Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau
Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder
Occupational Interest Survey.
Kreativitas merupakan salah
satu ciri dari perilaku yang inteligen, yang merupakan manifestasi dari suatu
proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi
tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa
kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi,
tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal
itu. Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah
pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas
yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang
cukup berarti. Tetapi pada skor yang lebih tinggi lagi, ternyata tidak
ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang
bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban
berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya
dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis
berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola
pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses
berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai
kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar